10/27/2004
Catatan perjalanan Bondowoso I
Sebelum mulai bercerita, sejenak fa buka lembaran lembaran usang pelajaran geografi di sekolah. Bondowoso. Yap, bagian wilayah jatim yang terletak agak di ujung, ujung mana ya? Pokoe ujunglah, katanya seh deket sama bali, Cuma 3,5 jam perjalanan naek kendaraan umum itupun udah termasuk macet, nyebrang bersama kapal, dll
30% penduduknya adalah suku madura, sebagian orang jawa & sebagian kecil lagi orang arab.
Mata pencaharian utama penduduk pribumi sebagai petani, peternak & pedagang sementara karyawan karyawan pemerintahan didominasi oleh pendatang(ya orang jawa tadi). Kota yang kaya tapi sepi, bahkan yang namanya ibu kota, keruwetannya nggak jauh beda dengan kota kecamatannya faya. Gaya hidup penduduk masih agak agak konvensional.
=----------=
Rencana semula berangkat nengokin mbak el ke Bondowoso di set jam 9, berhubung matahari di kota Malang begitu menyengat akhirnya berangkat jam 10.30. fa duduk paling depan. seperti biasa, perjalanan didominasi oleh acara tidur. Dari malang - probolinggo nggak ada yang istimewa, kecuali pas ditengah acara bubuk, kondektur bagian pintu depan ribut dengan penumpangnya. Masalahnya apaan? Nggak jelas, pokoe fa taunya mereka ribut. Jadi Deg deG pLas.
Sering banget loh saat pigi bondowoso gitu fa jadi saksi hidup peristiwa kayak gini. Orang orang maduris itu karakternya keras(bukan bermaksud rasis kiy). Waktu itu pernah juga bis yang fa naikin mo selipan dengan panther, jalan sempit & sama sama nggak mau ngalah. Nggak pake babibu, sopir panther langsung keluar sambil bawa pedang puanjang berkilauan cLinK(pasti pedang warisan mpu gandring) ngajak adu kekuatan, ya terang aja sopir bis yg nggak bawa apa apa langsung keder. Untung ajah dipisah sama orang orang. Hihihi fa jadi ingat perang perangan di film Xena.
Setelah 3 jam perjalanan yang menjemukan akhirnya sampai juga di terminal probolinggo. Fa harus turun, ganti bis jurusan Bondowoso. Bis jurusan ini Cuma sedikit, jadi berangkatnya nggak tiap saat. Syukur deh kursi paling depan masih ada 1 yang kosong.
Tumben neh penumpangnya agak agak berkelas(baca: ngerti etika-red). Saat faya hendak memejamkan mata, tiba tiba bapak maduris disebelah ngajak bicara. Gaya berpakaian Si bapak mengingatkan faya pada penyanyi lagu lagu padang pasir
‘habibi..habibi..habibi ya nurul ain…’ atau kalo boleh fa bilang berkostum ala religius.
“dek, mau pergi kemana”
“ke bondowoso pak”
“adek dari mana”
“dari malang”
“di malang nyantri ya”
“enggak kok pak, saya kuliah”
“lulusnya masih lama”
“insya Allah tidak”
“tapi pernah nyantri kan” kekeh
“belum sama sekali”
“adek namanya siapa”
“ifa”
“nama bapaknya siapa”
“wardi susanto” jawabku curiga
“kalo ibunya?”
“sarah” asli bo’ong, itu kan nama mbah uti
“orang arab ya dek”
“jawa kok”
“ah..yang bener…saya tau kok ciri ciri orang arab, kan tetangga saya banyak yang arab”
“oo iya tah” mulai nggak nyaman
“jadi arab ya”
“jawa”
“nggak usah bohong deh dek”
??? arab ato jawa apa masalahnya sih, pikirku “ada sih dikit dikit” memenangkan ego si bapak
“kedua ortunya sama sama arab ya”
“nenek dari ibu” kualitas kejujuran 10%
“jadi jawa - arab dong”
“iya”
“sudah nikah ya” sambil merhatiin cincin dijariku
“belum”
“sudah ada calon?”
“belum”
“sama anak saya aja” todongnya
weks..fa syock oleh malu & iba pada diri sendiri, ingat saat saat fa melamar seseorang, malah sekarang dilamar. Mungkinkah nasib faya bisa disamakan dengan siti nurbaya vs datuk maringgih yang beda versi & lain jaman?
“tidak” vonisku tegas
“dia anak bungsu saya, umur 23, udah mapan loh. Kerja di pasar turi bantuin kakaknya dagang kain” masih ingin memperjuangkan masa depan sang junior
“oo ehehe” tertawa hambar
“dia sedang cari istri. Boleh saya minta alamat & no. telp ifa?” promosinya menggebu nggebu bak sales obat sedang mengincar mangsa
“wah…saya baru pindah rumah, blom hafal alamat. nggak punya Telp juga neh pak” jawabku penuh kepalsuan
“kalo gitu saya kasih no. hp anak saya aja, jangan lupa nanti di telp ya! Abis ini saya kasih tau dia, biar nggak bingung. Kalo bisa juga datang ke Surabaya”
“iya” Cuma basa basi
“namanya mat doger nomernya 000111222333. alamatnya jl.dijodohkan Gg. OlehAyah X No.00. tempat kerjanya di pasar turi lantai 1000 no sekian(semua serba disamarkan karena redaktur mengalami amnesia secara mendadak)
“seep seep”
“ingat kan. ditulis dong”
“ingat. wah saya nggak bawa pena” sekali ini fa merasa kecerdasan berpihak padaku.
“coba sebut kembali”
“nggak perlu lah, yang penting kan saya ingat” padahal tak satupun huruf yang nyantol di memory
“ya sudah, pokoknya jangan lupa hubungi dia ya”
“baik”
“jadi kapan kami bisa datang melamar” tanyanya penuh percaya diri
fa syock kembali, dengan efek denyut jantung berdetak 100 kali lebih cepat
“eehehe” meringkik kuda
“dia pasti mau, soalnya ifa kan BeginiBegituBlablablaTuinkTuinkGubrakPletaxCittt(kata kata indah yang nggak perlu dideskripsikan, takutnya pembaca ikutan mabox pujian)
“wahh trima kasihh” jadi merona
“tapi bener kan, ifa bukan orang arab murni” tanyanya sangsi, sambil melototin wajah blasteranku haha
“lha kelihatannya gimana pak” nggak peduli
“kayaknya arab asli nih”
“yaaa gitu deh” kembali kuikuti egonya demi menuai akhir percakapan. Nguantuk. Mata udah melek merem menyeimbangkan kesadaran kiy
“wahh orang arab gitu kok ngakunya orang jawa” merasa tertipu
“lha eyang buyut ayahnya nenek saya kan orang jawa pak” asal. Mulut dan otak mulai nggak konek
“mmm pak, saya tidur dulu ya” kuakhiri pembicaraan setelah tak kutemukan tanda tanda akan berakhir
“jangan dulu, kita bicara2 aja, sebentar lagi saya turun kok” jelas jelas maksa. Belakangan ketahuan bahwa selama 3 jam perjalanan duet kami, si bapak turun 20 menit lebih dulu dibanding faya. Bayangkan…3 jam vs 20 menit bo.
“tapi saya ngantuk. huamm”antara ngantuk, bosen, keinginan mengakhiri pembicaraan sia sia & nggak enak pada si bpk
“nanti begini nak, saat lamaran frs4r78y3w, setelah menikah kalian tinggal di kjfweher2rdf” hihi, fa udah dipanggil nak rek, terancam jadi mantu idaman neh.
“iya…huammm”
“trus…kofwej lalu jnfreh,……..”
“zzzzzz” pelan tapi pasti, fa tewas dengan begitu samar. Pamit baik2 nggak dapat respon positif, akhirnya ya illegal ajah.
Yang pertama faya lakukan setelah turun bis adalah ngakak cap banteng ngamuk. Nggak peduli sama orang sekitar yang bengong ngeliat seorang gadis baru turun bis nggak ada angin nggak ada ujan tiba tiba ketawa sambil nari hula hula (hehe) ah biarin aja, nggak bakalan ketemu tiap hari juga. Nggak nyangka ternyata fa bisa juga melalui 1 episode cerita dengan begitu asal & gila. Si bapak yang poloz ato faya yg pinter boong ya. Setelah memuaskan hajat hahahihi baru deh naek becak.
2 -3 menit perjalanan. Sampailah di depan rumah mbak elvi. Ketemu tetangga sebelah, Beramah tamah, SKSD. Biar nggak ngeh ama bahasa maduris juga its ok, yang penting tebar senyum semanis mungkin. Senyum gratis dengan hasil ruaarrrrr biasa. Buktinya kebegoan faya bisa tertutupi tuh(ato jangan2 malah si tetangga yang pura pura tak melihat kejanggalan pada faya)
Ternyata ayah sama ibuk udah datang dari jam 11. weks…saat itu kan fa baru tinggal landas. Setelah sholat, mandi, cantik & wangi. Langsung meluncur ke rumah sakit yang jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah.
*bersambung*
faya remembered on 11:16 PM.
